Kamis, 24 Juni 2010

Askep Keperawatan Diare

DIARE

• Pengertian
Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.

• Penyebab
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
• Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:
• Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela, E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.
• Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.

1.
Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:

• malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.
• Kurang kalori protein.
• Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.

• Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak. Gangguan gizi
3. Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:
• Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang bertambah hebat.
• Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
• Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
4. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.
• Manifestasi Klinis Diare

1.
Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang.
2.
Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer, kadang disertai wial dan wiata.
3.
Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu.
4.
Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
5.
Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan.
6.
Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat hipovokanik.
7.
Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).
8.
Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan pernafasan cepat dan dalam. (Kusmaul).


• Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan tinja
• Makroskopis dan mikroskopis
• PH dan kadar gula dalam tinja
• Bila perlu diadakan uji bakteri

1.
Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.
2.
Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
3.
Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.


• Komplikasi

1.
Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2.
Renjatan hipovolemik.
3.
Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).
4.
Hipoglikemia.
5.
Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa, usus halus.
6.
Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
7.
Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.


• Derajat dehidrasi
Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan:
• Kehilangan berat badan
• Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%.
• Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.
• Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 5-10%
asuhan keperawatan askep pada klien dengan diare penyakit penyebab anak dewasa jurnal sistem artikel ilmu kasus psikologi pengertian makalah definisi etika kesehatan masyarakat informasi indonesia
• Pentalaksanaan

1.
Medis

Dasar pengobatan diare adalah:
• Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.
• Cairan per oral
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO 3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
• Cairan parentral
Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai berikut:
• Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg
• 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
• Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
• 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg
• 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
• Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
• Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO 3 1½ %.
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).
• Untuk bayi berat badan lahir rendah
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO 3 1½ %).
• Pengobatan dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan:
• Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh
• Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim)
• Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.
• Obat-obatan
Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.

1.
Keperawatan

Masalah klien diare yang perlu diperhatikan ialah resiko terjadinya gangguan sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, resiko komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit.
Mengingat diare sebagian besar menular, maka perlu dilakukan penataan lingkungan sehingga tidak terjadi penularan pada klien lain.
• Data fokus
• Hidrasi
• Turgor kulit
• Membran mukosa
• Asupan dan haluaran
• Abdomen
• Nyeri
• Kekauan
• Bising usus
• Muntah-jumlah, frekuensi dan karakteristik
• Feses-jumlah, frekuensi, dan karakteristik
• Kram
• Tenesmus
• Diagnosa keperawatan
• Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara intake dan out put.
• Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi usus dengan mikroorganisme.
• Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh peningkatan frekuensi BAB.
• Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, tidak mengenal lingkungan, prosedur yang dilaksanakan.
• Kecemasan keluarga berhubungan dengan krisis situasi atau kurangnya pengetahuan.
• Intervensi
• Tingkatkan dan pantau keseimbangan cairan dan elektrolit
• Pantau cairan IV
• Kaji asupan dan keluaran
• Kaji status hidrasi
• Pantau berat badan harian
• Pantau kemampuan anak untuk rehidrasi
• Melalui mulut
• Cegah iritabilitas saluran gastro intestinal lebih lanjut
• Kaji kemampuan anak untuk mengkonsumsi melalui mulut (misalnya: pertama diberi cairan rehidrasi oral, kemudian meningkat ke makanan biasa yang mudah dicerna seperti: pisang, nasi, roti atau asi.
• Hindari memberikan susu produk.
• Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pemilihan makanan.
• Cegah iritasi dan kerusakan kulit
• Ganti popok dengan sering, kaji kondisi kulit setiap saat.
• Basuh perineum dengan sabun ringan dan air dan paparkan terhadap udara.
• Berikan salep pelumas pada rektum dan perineum (feses yang bersifat asam akan mengiritasi kulit).
• Ikuti tindakan pencegahan umum atau enterik untuk mencegah penularan infeksi (merujuk pada kebijakan dan prosedur institusi).
• Penuhi kebutuhan perkembangan anak selama hospitalisasi.
• Sediakan mainan sesuai usia.
• Masukan rutinitas di rumah selama hospitalisasi.
• Dorong pengungkapan perasaan dengan cara-cara yang sesuai usia.
• Berikan dukungan emosional keluarga.
• Dorong untuk mengekspresikan kekhawatirannya.
• Rujuk layanan sosial bila perlu.
• Beri kenyamanan fisik dan psikologis.
• Rencana pemulangan.
• Ajarkan orang tua dan anak tentang higiene personal dan lingkungan.
• Kuatkan informasi tentang diet.
• Beri informasi tentang tanda-tanda dehidrasi pada orang tua.
• Ajarkan orang tua tentang perjanjian pemeriksaan ulang.

Senin, 21 Juni 2010

OBAT ANALGESIK ANTIPIRETIK

OBAT ANALGESIK ANTIPIRETIK
Obat saraf dan otot golongan analgesik atau obat yang dapat menghilangkan rasa sakit/ obat nyeri sedangkan obat antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh.
Analgesik sendiri dibagi dua yaitu :
1.Analgesik opioid / analgesik narkotika Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Ada 3 golongan obat ini yaitu :
1.Obat yang berasal dari opium-morfin,
2.Senyawa semisintetik morfin, dan
3.Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.

2.Analgesik lainnya, Seperti golongan salisilat seperti aspirin, golongan para amino fenol seperti paracetamol, dan golongan lainnya seperti ibuprofen, asam mefenamat, naproksen/naproxen dan banyak lagi.
Berikut contoh obat-obat analgesik antipiretik yang beredar di Indonesia :
1.Paracetamol/acetaminophen

Merupakan derivat para amino fenol. Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik, telah menggantikan penggunaan salisilat. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak digunakan terlalu lama karena dapat menimbulkan nefropati analgesik.
Jika dosis terapi tidak memberi manfaat, biasanya dosis lebih besar tidak menolong.
Dalam sediaannya sering dikombinasi dengan cofein yang berfungsi meningkatkan efektivitasnya tanpa perlu meningkatkan dosisnya.
2.Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin.
Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.
3.Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat pada protein plasma, sehingga interaksi dengan obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung.
4.Tramadol
Tramadol adalah senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Tramadol digunakan untuk sakit nyeri menengah hingga parah. Sediaan tramadol pelepasan lambat digunakan untuk menangani nyeri menengah hingga parah yang memerlukan waktu yang lama.
Minumlah tramadol sesuai dosis yang diberikan, jangan minum dengan dosis lebih besar atau lebih lama dari yang diresepkan dokter.
Jangan minum tramadol lebih dari 300 mg sehari.
5.Benorylate
Benorylate adalah kombinasi dari parasetamol dan ester aspirin. Obat ini digunakan sebagai obat antiinflamasi dan antipiretik. Untuk pengobatan demam pada anak obat ini bekerja lebih baik dibanding dengan parasetamol dan aspirin dalam penggunaan yang terpisah. Karena obat ini derivat dari aspirin maka obat ini tidak boleh digunakan untuk anak yang mengidap Sindrom Reye.
6.Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kanker.
Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.
7.Naproxen
Naproxen termasuk dalam golongan antiinflamasi nonsteroid. Naproxen bekerja dengan cara menurunkan hormon yang menyebabkan pembengkakan dan rasa nyeri di tubuh.
8.Obat lainnya
Metamizol, Aspirin (Asetosal/ Asam asetil salisilat), Dypirone/Methampiron, Floctafenine, Novaminsulfonicum, dan Sufentanil.
Untuk pemilihan golongan obat analgesik dan antipiretik yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter.
Di medicastore anda dapat mencari informasi obat seperti : kegunaan atau indikasi obat, generik atau kandungan obat, efek samping obat, kontra indikasi obat, hal apa yang harus menjadi perhatian sewaktu konsumsi obat, gambar obat yang anda pilih hingga harga obat dengan berbagai sediaan yang dibuat oleh pabrik obat. Sehingga anda dapat memilih dan beli obat sesuai dengan kebutuhan anda.

Efek Samping Kemoterapi dan Solusinya

Efek Samping Kemoterapi dan Solusinya

Secara umum untuk mengobati kanker adalah melalui:
1. Pembedahan atau operasi (mengangkat kanker secara keseluruhan karena kanker hanya dapat sembuh kalau belum dapat menjalar ketempat lain)
2. Kemoterapi atau obat-obatan (pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel kanker)
3. Radioterapi atau penggunaan sinar radiasi
 
Namun dalam proses penyembuhan kemoterapi tidak hanya memberikan dampak yang baik tapi juga menimbulkan Efek Samping (dampak negatif).
Efek Samping Kemoterapi
Efek samping dapat muncul ketika sedang dilakukan pengobatan atau beberapa waktu setelah pengobatan. Efek samping yang bisa timbul adalah:
 1. Lemas
Efek samping yang umum timbul. Timbulnya dapat mendadak atau perlahan. Tidak langsung menghilang dengan istirahat, kadang berlangsung hingga akhir pengobatan.
 2. Mual dan Muntah
Ada beberapa obat kemoterapi yang lebih membuat mual dan muntah. Selain itu ada beberapa orang yang sangat rentan terhadap mual dan muntah. Hal ini dapat dicegah dengan obat anti mual yang diberikan sebelum/selama/sesudah pengobatan kemoterapi.
Mual muntah dapat berlangsung singkat ataupun lama.
 3. Gangguan pencernaan
Beberapa jenis obat kemoterapi berefek diare. Bahkan ada yang menjadi diare disertai dehidrasi berat yang harus dirawat. Sembelit kadang bisa terjadi.
Bila diare: kurangi makanan berserat, sereal, buah dan sayur. Minum banyak untuk mengganti cairan yang hilang.
Bila susah BAB: perbanyak makanan berserat, olahraga ringan bila memungkinkan
 4. Sariawan
Beberapa obat kemoterapi menimbulkan penyakit mulut seperti terasa tebal atau infeksi. Kondisi mulut yang sehat sangat penting dalam kemoterapi
 5. Rambut Rontok
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah di dekat kulit kepala. Dapat terjadi setelah beberapa minggu terapi. Rambut dapat tumbuh lagi setelah kemoterapi selesai.
 6. Otot dan Saraf
Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa pada jari tangan atau kaki serta kelemahan pada otot kaki. Sebagian bisa terjadi sakit pada otot.
 7. Efek Pada Darah
Beberapa jenis obat kemoterapi dapat mempengaruhi kerja sumsum tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah, sehingga jumlah sel darah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel darah putih (leokosit). Penurunan sel darah terjadi pada setiap kemoterapi dan tes darah akan dilaksanakan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel darah telah kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat mengakibatkan:
A. Mudah terkena infeksi
Hal ini disebabkan oleh Karena jumlah leokosit turun, karena leokosit adalah sel darah yang berfungsi untuk perlindungan terhadap infeksi. Ada beberapa obat yang bisa meningkatkan jumlah leokosit.
B. Perdarahan
Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan darah. Penurunan jumlah trombosit mengakibatkan perdarahan sulit berhenti, lebam, bercak merah di kulit.
C. Anemia
Anemia adalah penurunan jumlah sel darah merah yang ditandai oleh penurunan Hb (hemoglobin). Karena Hb letaknya di dalam sel darah merah. Akibat anemia adalah seorang menjadi merasa lemah, mudah lelah dan tampak pucat.
8. Kulit dapat menjadi kering dan berubah warna
Lebih sensitive terhadap matahari.
Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang.
 
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan jenis kemoterapi yang diberikan adalah:
 Biaya atau harga dari kemoterapi tersebut.
 Fasilitas yang memadai; kemungkinan untuk kontrol dan pengawasan.
 Protokol kemoterapi.
 Keadaan umum tubuh dan adanya penyakit atau kelemahan lain yang menyertai.
 
Syarat seseorang mendapat kemoterapi:
 Fungsi organ baik.
 Jenis sel darah merah dan darah putih cukup.
 Tidak demam.
 Tidak perdarahan.
 Dapat melakukan kegiatan sehari-hari sendiri (sehat)

Sindroma XYY

Sindroma XYY

DEFINISI
Pada sindroma XYY, seorang bayi laki-laki terlahir dengan kelebihan kromosom Y.

Pria biasanya hanya memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y, digambarkan sebagai 46,XY.
Pria dengan sindroma XYY memiliki 2 kromosom Y dan digambarkan sebagai 47,XYY.
Kelainan ini ditemukan pada 1 diantara 1.000 pria.

PENYEBAB
Penyebab dari penyimpangan kromosom yang menyebabkan terbentuknya sindroma XYY tidak diketahui.

GEJALA
Pada saat lahir, bayi biasanya tampak normal, lahir dengan berat dan panjang badan yang normal, tanpa kelainan fisik dan organ seksualnya normal.

Pada awal masa kanak-kanak, penderita memiliki kecepatan pertumbuhan yang pesat, rata-rata mereka memiliki tinggi badan 7 cm diatas normal.
Postur tubuhnya normal, tetapi berat badannya relatif lebih rendah jika dibandingkan terhadap tinggi badannya.

Pada masa kanak-kanak, mereka lebih aktif dan cenderung mengalami penundaan kematangan mental, meskipun fisiknya berkembang secara normal dan tingkat kecerdasannya berada dalam kisaran normal.
Di sekolah, mereka cenderung mengalami masalah belajar.
Aktivitas yang tinggi dan gangguan belajar akan menimbulkan masalah di sekolah sehingga perlu diberikan pendidikan ekstra.

Perkembangan seksual fisiknya normal, dimana organ seksual dan ciri seksual sekundernya berkembang secara normal. Pubertas terjadi pada waktunya.
Pria XYY tidak mandul, mereka memilki testis yang berukuran normal serta memiliki potensi dan gairah seksual yang normal.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan analisa kromosom.

PENGOBATAN
Anak laki-laki dengan sindroma XYY seringkali secara fisik lebih aktif daripada saudara kandungnya dan jika aktivitas ini ditanggapi dan disalurkan dengan baik, biasanya tidak akan menimbulkan masalah.
Mereka cenderung mengalami keterlambatan dalam kematangan emosi dan cenderung mengalami kesulitan belajar di sekolah sehingga perlu dirangsang secara dini dan adekuat.

Pria XYY memiliki keadaan hormon seks yang normal dan tidak perlu menjalani terapi hormonal.

Anak laki-laki XYY yang tumbuh di dalam lingkungan yang baik, dengan cinta, dukungan dan rangsangan yang mereka perlukan, tidak akan mengalami kelainan jiwa.
Pria XYY yang tumbuh dalam lingkungan yang jelek, tanpa cinta, rangsangan dan dukungan, memiliki resiko mengalami kelainan jiwa dan gangguan dalam bersosialisasi; tetapi mereka tidak memiliki resiko menderita skizofrenia, kelainan manik-depresif maupun kelainan jiwa yang serius lainnya. Mereka bisa dibantu melalui penyuluhan dan pengobatan psikolog-psikiater.


SINDROM KLINEFELTER

Sindrom Klinefelter
adalah kelainan genetik yang terbanyak pada pria. Pria dengan kelainan ini, tidak mengalami perkembangan seks sekunder yang normal seperti penis dan testis yang tidak berkembang, perubahan suara (suara lebih berat tidak terjadi), bulu-bulu di tubuh tidak tumbuh; biasanya tidak dapat membuahkan (tidak subur) tanpa menggunakan metoda-metoda penyuburan khusus. Mereka mungkin mempunyai masalah-masalah lain, seperti sedikit dibawah kemampuan inteligensia, perkembangan bicara yang terhambat, kemampuan verbal yang kurang dan masalah-masalah emosional dan tingkah laku. Meskipun demikian ada juga yang memiliki intelegensia diatas rata-rata dan tidak ada perkembangan emosional atau masalah-masalah tingkah laku. Sekitar 1 pada 500 sampai 1 pada 1000 bayi-bayi laki-laki yang dilahirkan mengidap sindrom Klinefelter.
Penyebabnya.
Laki-laki biasanya mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y; mereka yang mengidap sindrom Klinefelter mempunyai kurang lebih satu tambahan kromosom X. Untuk alasan itu, mereka mungkin digambarkan sebagai pria dengan XXY atau pria dengan sindrom XXY. Pada kasus-kasus yang jarang, beberapa pria dengan sindrom Klinefelter memiliki sebanyak tiga atau empat kromosom X atau satu atau lebih tambahan kromosom Y.
Pengaruhnya
Walaupun gangguan ini biasa, banyak pria dengan sindrom Klinefelter tidak menyadari mereka mengidapnya dan hidup secara normal. Mereka tidak menyadari kelainan tanda-tanda fisik, emosional atau mental dari gangguan ini. Oleh karena itu banyak ahli kesehatan lebih suka untuk menyebutkan pria dengan tambahan kromosom X ini sebagai “pria XXY”. Ini menghilangkan beberapa hal negatif yang menyangkut istilah “sindrom”.
Tanda-tanda dari sindrom Klinefelter berbeda dari satu orang dengan orang lain. Perbedaan tersebut umumnya bergantung pada jumlah dari tambahan kromosom X pada sel-sel dan berapa banyak sel-sel yang telah terpengaruh. Mereka yang memiliki lebih dari satu kromosom X umumnya mempunyai beberapa gejala-gejala berat, termasuk keterbelakangan mental.
Pengobatan
Sindrom Klienefelter biasanya tidak pernah terdiagnosa sebelum usia mendekati remaja (sekitar usia 11 sampai 12 tahun), ketika pria mulai masuk masa puber. Pada tahap ini, testis anak tersebut gagal berkembang seperti yang terlihat normal pada masa puber. Testis tersebut tidak mencapai ukuran orang dewasa, tidak dapat untuk menghasilkan testoteron yang cukup, dan tidak dapat menghasilkan sperma yang cukup bagi seseorang untuk menjadi seorang ayah bagi anaknya.
Pengobatan termasuk bantuan yang berhubungan dengan perkembangan bicara dan masalah-masalah emosi dan tingkah laku, dan jika perlu mendapatkan suntikan terstoteron.
Masalah-masalah kesehatan lain
Orang-orang penderita sindrom Klinefelter mungkin beresiko tinggi terkena diabetes, masalah-masalah kulit (eksim dan borok pada kaki), penyakit serebrovaskular ( penyakit-penyakit pembuluh darah di otak seperti stroke), penyakit paru-paru kronik, osteoporosis, pelebaran pembuluh darah (varises) dan kanker payudara. Meskipun kanker payudara pada pria tidak umum, tapi dapat terjadi pada para pria dengan sindrom Klinefelter 20 kali lebih besar dibandingkan pria-pria lainnya.

EFEK SAMPING OBAT



PENGKAJIAN OBAT

EFEK SAMPING OBAT


I. MASALAH DAN KEJADIAN EFEK SAMPING OBAT

Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh.

Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.

Beberapa contoh efek samping misalnya:

  • Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik),

  • Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan),

  • Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama),

  • Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat - withdrawal syndrome),

  • Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik).

Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:

  • Kegagalan pengobatan,

  • Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien,

  • Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).

  • Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat.


Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis. Angka kejadian yang dilaporkan cukup beragam. Dari negara-negara Barat, ternyata angka-angka yang didapatkan cukup mengejutkan, yakni:

  • Dari pasien rawat tinggal, yang rata-rata menerima 5-10 jenis obat selama 10 hari perawatan di rumah sakit, + 25% nya akan menderita 1 macam atau lebih efek samping obat dari berbagai derajad, dan 1% menderita efek samping yang membahayakan kehidupan. Pada pasien rawat tinggal ini, efek samping yang berat paling banyak terjadi pada pengobatan kemoterapi kanker.

  • Di praktek swasta, kemungkinan terjadinya efek samping jauh lebih besar. Terbukti dari pasien akut yang masuk rumah sakit (hospital admission), + 25% nya ternyata disebabkan karena atau berhubungan dengan efek samping obat.

  • Dari kematian di rumah sakit, 0,24 - 2,9% adalah karena efek samping obat.

  • Golongan umur yang terbanyak mengalami efek samping adalah orang tua. Kelompok ini umumnya menerima jenis obat cukup banyak, sedangkan respons farmakokinetik dan farmakodinamik tidak sama.


Data di Indonesia belum banyak terungkap, namun paling tidak angka-angka ini dapat memberikan gambaran kejadian dan masalahnya.


II. PEMBAGIAN EFEK SAMPING OBAT

Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dsb. Namun mungkin pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah pembagian seperti:

Efek samping yang dapat diperkirakan:

  1. Aksi farmakologik yang berlebihan

  2. Respons karena penghentian obat

  3. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama


Efek samping yang tidak dapat diperkirakan:

  1. Reaksi alergi

  2. Reaksi karena faktor genetic

  3. Reaksi idiosinkratik


I.1. Efek Samping yang dapat diperkirakan

I.1.a. Efek farmakologik yang berlebihan

Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relative yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu.

Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar. Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika.


Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:

  • Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.

  • Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.

  • Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.

  • Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.

  • Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.

  • Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin.


Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan.


I.1.b. Gejala penghentian obat

Gejala penghentian obat (= gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya:

  • Agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol,

  • Krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid,

  • Hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin,

  • Gejala putus obat karena narkotika.


Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan.


I.1.c. Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas. Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan perkiraan angka kejadiannya.

Sebagai contoh misalnya:

  • Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dll.

  • Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan (motion sickness).

  • Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.

  • Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

  • Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.

  • Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb.


II.2. Efek samping yang tidak dapat diperkirakan

II.2.a. Reaksi alergi

Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksiimunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal.


Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:

  • Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya

  • Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek,

  • Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat,

  • Reaksi hilang bila obat dihentikan,

  • Keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash (=ruam) di kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.


Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:

Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium.


Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll.


Tipe III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).


Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal. Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan meliputi:

  1. Demam.

Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.

  1. Ruam kulit (skin rashes).

Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dll.



  1. Penyakit jaringan ikat.

Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat.

  1. Gangguan sistem darah.

Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.

  1. Gangguan pernafasan:

Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.


II.2.b. Reaksi karena faktor genetik

Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin).


Sebagai contoh misalnya:

  • Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan.

  • Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin. Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling populer adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat (asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat).


Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. ebagai contoh misalnya:

  • Neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat,

  • Sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.


Pemeriksaan untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok asetilator cepat atau lambat sampai saat ini belum dilakukan sebagai kebutuhan rutin dalam pelayanan kesehatan, namun sebenarnya prosedur pemeriksaannya tidak sulit, dan dapat dilakukan di Laboratorium Farmakologi Klinik.


II.2.c. Reaksi idiosinkratik

Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi.


Beberapa contoh misalnya:

  • Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan.

  • Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen sama sekali.

  • Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid.

  • Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan.

  • Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya.


III. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG TERJADINYA EFEK SAMPING OBAT

Setelah melihat uraian di atas, maka kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi:

III.1. Faktor bukan obat

Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:

a) Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.

b) Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.


III.2. Faktor obat

a) Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.

b) Pemilihan obat.

c) Cara penggunaan obat.

d) Interaksi antar obat.


IV. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANAN EFEK SAMPING

Saat ini sangat banyak pilihan obat yang tersedia untuk efek farmakologik yang sama. Masing-masing obat mempunyai keunggulan dan kekurangan masing-masing, baik dari segi manfaat maupun kemungkinan efek sampingnya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, jangan terlalu terpaku pada obat baru, di mana efek-efek samping yang jarang namun fatal kemungkinan besar belum ditemukan. Sangat bermanfaat untuk selalu mengikuti evaluasi/penelaahan mengenai manfaat dan risiko obat, dari berbagai pustaka standard maupun dari pertemuan-pertemuan ilmiah. Selain itu penguasaan terhadap efek samping yang paling sering dijumpai atau paling dikenal dari suatu obat akan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi pengobatan.


VI.1. Upaya pencegahan

Agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin, selalu dianjurkan untuk melakukan hal-hal berikut:

  • Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu-waktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri.

  • Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif non-farmakoterapi.

  • Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus.

  • Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi, usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung. Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping seringkali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran.

  • Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat bila dirasa tidak perlu lagi.

  • Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat.


VI.2. Penanganan efek samping

Dengan melihat jenis efek samping yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, pedoman sederhana dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:


  1. Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping.

Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil. Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya terhadap obat penyebab. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu.

  1. Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita.

Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau kortikosteroid (bila diperlukan), dll.